Bad Moment
Hujan baru saja berhenti. Aroma khas
tanah basah mulai menyeruak menusuk-nusuk hidung. Dingin dan nyeri. Sama halnya
dengan hati ku. Bedanya air mata ku masih terus menetes, deras dan
bercabang-cabang. Nyeri yang kurasakan berkali lipat daripada darah yang
mengalir dari bibir ku karena aku menggigitnya terlalu kuat, sekedar untuk
menahan isak tangis.
27 Desember 2008, kekasih ku pergi
selama-lamanya. Dia mati. Tanpa membiarkan aku mengetahui apa alasannya pergi,
tanpa berbagi padaku, tanpa membiarkan aku tau betapa berat perjuangangannya
melawan penyakit sialan itu. Penyakit yang dengan seenaknya dan tanpa ijin
menggerogoti tubuh kekasih ku.
Dia datang ke rumah dengan wajah sangat
pucat, bahkan bibirnya membiru, matanya, aaah nyaris seperti vampir tidak minum
darah berhari-hari. Sayangnya aku sama sekali tidak menanyakan apa yang terjadi
padanya, karena gengsi ku yang melampaui batas. Aku seolah tidak peduli. Aku
kesal. Aku marah. Dia tak memberi ku kabar, dia datang seenaknya, bahkan tanpa
minta maaf.
“Sore sayang”, ucapnya mengawali
pembicaraan sore itu dan mengecup pipi ku.
“Sore” jawabku ketus.
Tak lama kemudian dia undur diri dan
berpamitan pulang. Dia mecium keningku kemudian memasuki Juke putih tulangnya
dan meninggalkan rumah sederhana orangtuaku dengan melajukan mobilnya –sangat- kencang.
“Haaaah”, aku mendesah lelah.
“Kurang ajar, bahkan dia tidak minta
maaf!!!”, aku sangat kesal.
***
Rupanya kedatangannya sore itu menjadi
yang terakhir, kecupannya pun kecupan terakhir pula. Delapan hari setelah
kedatangannya, dia tinggal nama. Mamanya sendiri yang menghubungi ku. Smsnya
pun masih tersimpan rapi di ponselku
“dek Vin,
sudah pulang sekolah? Maafkan Yori ya, Yori sudah pulang ke rumah Tuhan tepat
pukul 2 dinihari tanpa pamit sama dek Vin, Yori mengidap sirosis, Yori sudah
berusaha. Tante juga kehilangan Yori”
***
Aku
berusaha menjadi kekasih yang baik untuk terakhir kalinya. Aku menemuinya,
duduk bersimpuh di depan petinya dan tentu saja dengan berderai air mata.
“kenapa
harus secepat ini? Kamu gak pamit sama aku, di mana etika mu sebagai pacar yang
baik dan sopan, aku merasa tidak di hormati sebagai wanita pilihanmu, kenapa kamu tidak
mau berbagi rasa sakit? Kenapa kamu berjuang sendiri?”, aku membuka kain satin
putih yang menutupi separuh permukaan petinya.
Mengecup
dahinya untuk yang terakhir kalinya, juga bibir merahnya yang sekarang membiru
dan –dingin-. Tuksedo putih membalut raganya yang tak lagi bernyawa. Di
tangannya tersemat Rosario berwarna putih tulang. Ku pegang tangannya, dan
mulai berdoa.
Ku
awali dengan tanda salib. “Selamat siang Tuhan, terimakasih atas berkah yang Tuhan
limpahkan, terimakasih atas waktu yang Tuhan berikan, walaupun singkat kiranya
waktu itu cukup bahkan sangat berarti. Terimakasih Tuhan telah menyayangi
kekasih ku, terimalah ia di sisiMu, ampunilah segala dosa-dosanya. Berilah
ketabahan, kelapangan hati dan keikhlasan untuk kami semua yang ditinggalkan,
terutama Mama, Papa, Kakak, dan semua keluarga besarnya. Terimakasih Tuhan....”
dan aku sudah tidak mampu melanjutkan doa ku lagi, bahkan aku tidak sanggup
menutup doaku dengan tanda salib. Pandangan ku kabur dengan banyaknya air mata
yang menetes.
Tangan
kokoh merangkulku dari belakang, yang kuyakini adalah tangan Mas Davin, kakak
kandungku. Dia menuntunku keluar, menemui keluarga kekasihku. Mamanya
memelukku, dan kami menangis dalam pelukan tanpasepatah katapun. Mungkin air
mata sudah cukup melukiskan betapa kami sangat mencintai Yori, betapa kami
sangat kehilangan Yori.
Jenazahnya
mulai diangkat, dan kidung kematian mengiringi peti matinya. Aku masih berusaha
menjadi pacar yang baik dengan pura-pura tegar dan ikhlas di hadapan
keluarganya. Saat petinya mulai dimasukkan ke liang lahat, pertahanan ku jebol.
Mamanya berteriak histeris. Teriakan seorang ibu yang kehilangan putra
bungsunya untuk selama-lamanya. Aku memeluk erat Mas Davin.
Pemakaman
belum usai, tapi Mas Davin menarikku keluar dari makam dan mengajakku
meninggalkan rumah Yori, Pajero Sportnya melaju perlahan meninggalkan perumahan
mewah itu.
Hari
berganti, semangat hidupku yang awalnya terkubur bersama kematian Yori mulai
tumbuh lagi berkat kegigihan kakakku dan tentunya kedua orangtuaku.
28
Maret 2009, spectacular today. Hari ulang tahun ku yang dirayakan cukup mewah,
kejutan dari Mas Davin, Mama, dan Papa. Peristiwa tiga bulan yang lalu
berangsur-angsur mulai kulupakan dengan datangnya kebahagiaan ini. Aku berharap
akan seperti ini –selamanya-. Tapi apalah daya, manusia hanya bisa berencana
dan Tuhan yang menentukan semuanya.
Akhir
April 2009, keluarga kecil kami mengunjungi keluarga besar kami di Cialacap, Jawa
Tengah. Hingar-bingar kebahagiaan begitu terasa disana. Acara Sosialite yang
rutin diadakan setiap satu tahun sekali berjalan dengan mulus.
Awal
Mei 2009, kami kembali ke kota tercinta. Semua berjalan lancar seperti sedia
kala, hingga pada pertengahan Mei Mas Davin jatuh sakit dan sempat dirawat di
rumah sakit selama lima hari. Diagnosa medis awal gejala demam berdarah. Bukannya
kunjung membaik, malah semakin memburuk. Akhirnya, Dokter Reza, dokter di
pabrik Papa merujuk Mas Davin di sebuah rumah sakit swasta terkenal. Diagnosa medis
awal masih sama, demam berdarah.
Akhir
Mei, keadaan Mas Davin membaik, namun masih terus dalam pengawasan dokter.
“Dek,
aku sakit apa ya?”, ucapnya mengawali pembicaraan kami.
“Mas
sehat kok, tunggu aja dokter kasih ijin pulang”.
“Tapi
aku capek, nyusahin mulu. Nyusahin kamu, mama, papa”.
“Lagi
nyadar ya kalau mas nyusahin”, ucapku dengan nada bercanda.
“Sialaaaaaaaaaaan!!!”.
***
Hal
yang di harapkan tak kunjung datang, keadaan Mas Davin berubah drastis. Semakin
memburuk. Sekarang di tempat dingin dan steril ini dia berada, di ICU.
Dokter
Johan yang merawat Mas Davin mendeteksi ada pembengkakan di paru-parunya.
Sistem respirasinya tak berjalan dengan normal, dan alat bantu pernafasan mulai
digunakan.
Doa
dan harapan selalu kami ucapkan, berharap mujizat Tuhan benar-benar datang.
Mama dalam tahajudnya tiada henti-hentinya meneteskan air mata, berharap akan
kesembuhan putra sulungnya. Papa memutuskan untuk cuti bekerja dan mama
meninggalkan bangku kuliahnya.
Hingga
waktu yang tak pernah kami inginkan datang. Dia datang, menjemput Mas Davin
pulang.
28
Juni 2009, pukul 17.30, Mas Davin kritis. Mbah Kakung dan Mbah Putri yang
terhormat datang. Mama dan Papa ku meradang, dan keadaan ku makin tak karuan.
Aku berdoa, berharap mujizat itu datang. Walaupun hati kecil ku berontak untuk
mengikhlaskan Mas Davin.
Pukul
18.00, alat bantu pernafasan yang langsung terhubung dengan paru-parunya mulai
dipasang. Aku memberanikan diri masuk ke ruangan dingin itu, aku mulai memakai
jas dan masker. Kalian tahu? Sakit sekali rasanya melihat kakak ku begitu
tersiksa, Mas Davin mengerang, tangannya begitu erat menggenggam tangan ku.
Dingin. Satu kenyataan menyakitkan lagi, darah mengalir dari mulutnya.
Dengan
keadaannya yang begitu menyedihkan, kami bercakap-cakap.
“Vin....
lelah”, ucapnya.
“Mas
istirahat ya, besok pasti sembuh”, sekuat tenaga aku menahan isakanku.
“Davina...
jaga diri”.
Deg.
Davina? Mas Davin jarang memanggilku dengan sebutan itu.
“Ma...Ma.... Pa.... Pa”.
“Ya,
sebentar aku panggilkan”.
Aku
segera berlari, menemui Papa dan Mama ku.
Papa
ku bergegas masuk, sedangkan Mama ku.... ah kalian tahu? Kondisi Mama ku sangat
menyedihkan. Frustasi.
“Mas
Davin harus kuat, Mas Davin janji sama Mama, Mas Davin janji!!”, mama berteriak
frustasi.
Tante
Renata berusaha menenangkan Mama. Memegang tangan mama erat kemudian
memeluknya.
“Anakku
Ren, Davin. Davin gak boleh pergi!!!”, ucap Mama dengan lemah.
Jujur
aku sangat benci mengatakan ini, tapi sama halnya dengan Mama, sebagai wanita
yang menghabiskan seluruh hidupku bersama Mas Davin, aku merasa Mas Davin tidak
dapat bertahan lagi. Aku tahu Mas Davin sudah lelah menahan rasa sakitnya.
Tiba-tiba aku teringat kata-katanya: “lebih
baik mati, daripada hidup tetapi selalu menderita”. Terang saja, aku
menangis. Badan ku bergetar, dan pandangan ku mulai kabur terhalangi air mata.
Aku
kembali masuk dan melihat Papa berbicara dengan tim dokter.
“Usahakan
yang terbaik buat anak saya Dok, dia putra sulung saya Dok.”, ucap Papa
memohon.
“Pak
Fredi, kami sudah berusaha memberikan yang terbaik buat putra bapak. Semua
kembali kepada kehendak Tuhan.”, ucap Dokter Johan bijak.
Hari
ini untuk kali pertamanya aku melihat Papa menangis. Sekecil itukah harapan
hidup Mas Davin, hingga Papa yang notabene sosok yang sangat tegar pun
menangis.
Tante
Renata masuk, mendekat kearah Mas Davin dan membantu Mas Davin untuk
mengucapkan syahadat. Yah, keluarga ku adalah keluarga beda iman. Aku seorang
Kristiani, sama dengan Papa. Sedangkan Mas Davin ikut keyakinan Mama, Muslim.
Walaupun ada dua keyakinan dalam satu atap tetapi keluarga kami tetap harmonis.
Aku
menatap miris, hampir disekujur tubuh Mas Davin dipasang alat-alat penunjang
hidup, entah apa yang terjadi tanpa alat-alat itu.
Om
Joseph Martindas, suami Tante Renata mulai berbicara dengan ku.
“Vin,
you tak boleh egois. You know? Sakitnya Davin begitu berat.”
“I
know Om, tapi.....”, aku ingin membantah.
“Kasihan
Davin. Apapun yang terjadi kita tidak bisa memaksanya untuk bertahan bukan?”
Aku
hanya menatap miris om ku, lelaki berkebangsaan Rusia dengan bola mata birunya
yang mempesona.
Detik
demi detik berjalan, semua terasa singkat.
Pukul
20:28, alat pedeteksi jantung itu berubah. Tak lagi bergelombang. Lurus. Artinya
Davin pergi! Davin mati.
Di pemakaman.
Semua orang
nampak frustasi, nampak tak percaya. Davino yang mereka kenal pergi di usia
yang masih belia. Semua teman sekolahnya, teman bermainnya, bahkan musuh
bebuyutannya pun datang dengan penuh dukacita. Sahabatnya karibnya, Andreas
Martha Jonathan –putra tunggal Mario Jonathan, pengusaha berlian terkaya- yang
sedang menuntut ilmu di negeri Paman Sam langsung pulang. Raut wajahnya tak tergambarkan lagi, dia langsung berlari dan
memelukku erat.
“Davin kenapa,
mana Davin?”, teriknya histeris.
Martha
mengguncang-guncangkan bahuku dengan histeris, air matanya tak mampu lagi di
bendung. Sementara aku? Mungkin air mata ku sudah kering.
Papa dan Mama ku
saling berpelukan di pinggir liang lahat Davin. Perlahan namun pasti jenazah Mas
Davin mulai dikebumikan, hening tercipta. Hingga Kania, kekasih Mas Davin tidak
dapat menahan lagi tubuhnya, pingsan.
Beberapa menit
kemudian mama ku berteriak-teriak histeris. “Davin, bangun Davino! Kamu janji
apa sama mama? Papa, Mama mau nemenin Davin! Davin gak punya temen”.
Papa ku masih
berusaha menengangkan Mama dengan berderai air mata. Seketika, suasana
pemakaman yang tadinya hening sekarang berubah menjadi penuh isak tangis.
R.I.P
“Davino
Ferdinan Rastungkara”
15
Mei 1993-28 Juni 2008
Davino Ferdinand Rastungkara, pewaris utama Rastungkara Coorporation kini sudah tenang di surga.
Meninggalkan Ferdiano Rastungkara dan Renisa Rastungkara dan adiknya Davina
Ferdiana Rastungkara.
Selamat jalan
Davino, selamat tinggal.
Kami mencintaimu...
Komentar
Posting Komentar